endas

Alamat : Jl. Desa Tunggulpayung Blok IV (Lapangan Winong) Kecamatan Lelea Kabupaten Indramayu 45261

Minggu, 25 Mei 2014

Bupati Indramayu – Dari Masa ke Masa

Sekedar ikut mencatat sejarah, siapa tahu berguna bagi warga Indramayu khususnya dan peserta didik, dan bagi siapa pun yang berkepentingan terhadap sejarah Indramayu pada umumnya.
1. R. Singalodra (Wiralodra I)
2. R. Wirapati (Wiralodra II)
3. R. Sawedi (Wiralodra III)
4. R. Banggala (Wiralodra IV)
5. R. Banggali (Wiralodra V)
6. R. Samaun (Wiralodra VI)
7. R. Krestal (Wiralodra VII)
8. R. Marngali
9. R. Wiradibrata I
10. RT. Suranenggala
11. R. Djilari (Purbadinegara I) – (1900 – …)
12. R. Rolat (Purbadinegara II) – (1900 – 1917)
13. R. Sosrowardjojo (1917 – 1932)
14. R. AA Moch. Soediono (1933 – 1944)
15. Dr. R. Murdjani (1944 – 1946)
16. R. Wiraatmadja (1946 – 1947)
17. MI Syafiuddin (1947 – 1948)
18. R. Wachyu (1949 – 1950)
19. Tikol Al Moch. Ichlas (1950 – 1951)
20. TB. Moch. Cholil (1951 – …)
21. R. Djoko S. Prawirowidjojo (1952 – 1956)
22. R. Hasan Surjasatjakusumah (1956 – 1958)
23. R. Firman Ranuwidjojo (1958 – pj)
24. Entol Dj. Setiawihardja (1958 – 1960)
25. HA Dasuki (1960 – 1965)
26. M. Dirlam Sastromihardjo (1965 – 1973)
27. R. Hadian Suria Adiningrat (1974 – 1975)
28. HA Djahari, SH (1975 – 1985)
29. H. Adang Suryana (1985 – 1990)
30. H. Ope Mustofa (1990 – 2000)
31. DR. H. Irianto MS Syafiuddin (2000 – 2010)
32. Hj. Anna Sophanah (2010 – …sekarang)

Demikian.

Menakar Pembangunan SDM Indramayu



Pada ranah global, kualitas pembangunan manusia diformulasikan dalam Human Development Index (HDI), atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Konsep ini pertama kali dibuat oleh PBB sekitar tahun 1953, namun baru dikembangkan dan disosialisasikan secara luas oleh UNDP pada tahun 1990-an. Di Jawa Barat, IPM telah diresmikan sebagai indikator pembangunan, melalui penerbitan Perda no. 1 tahun 2001. Konsep IPM menyederhanakan kualitas kehidupan manusia dari tiga parameter: (a) indeks pendidikan (IP), (b) indeks kesehatan (IK), dan (c) indeks daya beli (IDB). Indeks pendidikan terdiri dari angka melek huruf (AMH) dan angka rata-rata lama sekolah (RLS). Indeks kesehatan terdiri dari angka harapan hidup (AHH) dan angka kematian bayi (AKB). Sedangkan indeks daya beli diukur dari pendapatan masyarakat.
Dalam visi ‘Indramayu Remaja’ (Religius, Maju, Mandiri dan Sejahtera), IPM secara tertulis dituangkan dalam visi “sejahtera”. Sementara dalam misi ‘Sapta Karya Mulih Harja’, pembangunan sumberdaya manusia mendapatkan prioritas pertama dalam strategi makro pembangunan Indramayu.
Dengan dasar tersebut di atas, di sini saya akan mengulas (‘menakar’) sedikit tentang capaian pembangunan yang telah dilakukan oleh Pemerintah Daerah Indramayu berdasarkan parameter IPM, khususnya Indeks Pendidikan. Mengingat sektor pendidikan Indramayu telah menjadi sorotan banyak pihak. Pada sektor ini pula, kinerja Pemerintah Daerah Indramayu dianggap berhasil, sehingga pada tahun 2004 lalu, Bupati H. Irianto MS. Syafiuddin mendapat penghargaan dari PGRI sebagai bupati terbaik pemerhati dan pejuang anak bangsa.
Capaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indramayu
Selama masa Orde Baru, Indramayu merupakan daerah yang tertinggal dibandingkan dengan kabupaten – kota lainnya di Jawa Barat, khususnya dalam hal pembangunan sumberdaya manusia. Hal ini bisa dilihat dari capaian IPM Indramayu pada tahun 1999, yang menempati posisi terendah di Jawa Barat, dengan nilai hanya 56.5. Kabupaten Cirebon, yang menempati urutan ke dua terendah, nilainya cukup jauh di atas Indramayu, yakni 61.6. Kondisi ini amat bertolak belakang dengan potensi kekayaan daerah yang dimiliki, baik sumberdaya migas, pertanian dan kelautan, luas dan letak geografis yang cukup strategis, dan sebagainya.
Corak pembangunan yang sentralistis pada masa itu mungkin merupakan penyebab utama dari terabaikannya pembangunan SDM Indramayu. Dengan landasan UU no. 5/1974, Pemerintah Pusat “menjarah” hampir seluruh kekayaan daerah. Misalnya sumberdaya migas, menurut UU tersebut, 100% menjadi milik Pemerintah Pusat. Meskipun ada mekanisme sumbangan daerah otonom (SDO), jumlahnya sangat tidak sebanding dengan production sqeezing (istilah Sondakh, 2003) yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, sehingga daerah kehilangan sumberdaya yang dibutuhkan untuk pembangunan. Hal itu diperparah oleh political will kepala daerah sangat rendah.
Lahirnya UU no. 22/1999 dan UU no. 25/1999, memberikan peluang kepada daerah untuk membangun dan memanfaatkan kekayaannya masing-masing untuk digunakan sebesar-besarnya bagi kemajuan daerah. Kekayaan SDA dan keterbelakangan SDM adalah paradoks yang harus dihilangkan. Oleh karena itu, kepala daerah terpilih pada waktu itu, H. Irianto MS. Syafiuddin, telah mencanangkan berbagai program peningkatan IPM. Yang perlu digarisbawahi, rendahnya IPM Indramayu terutama disebabkan oleh Indeks Pendidikan (IP) yang teramat rendah. Angka melek huruf hanya 66,7 dan rata-rata lama sekolah sebesar 3,9. Posisi terendah ke dua ditempati oleh Subang, dengan angka melek huruf sebesar 86,2 dan angka rata-rata lama sekolah sebesar 5,4, jauh meninggalkan Indramayu. Bandingkan juga dengan rata-rata Jawa Barat untuk kedua parameter tersebut, yakni sebesar 92,1 dan 6,8. Sangat memprihatinkan!
Wajar, jika Pemerintah Daerah Indramayu terlihat sangat memprioritaskan pengembangan pendidikan sejak awal masa pemerintahannya. Misalnya pada tahun 2002, Pemerintah Daerah mulai merintis program beasiswa perguruan tinggi bagi siswa daerah yang berprestasi. Program itu berlangsung hingga saat ini dan telah mengantarkan ratusan siswa daerah ke berbagai perguruan tinggi negeri ternama di negeri ini. Selain itu, berbagai program beasiswa untuk pendidikan dasar dan menengah juga tengah digulirkan. Manajemen sekolah diperbaiki. Berbagai insentif untuk pengelola pendidikan diberikan. Sosialisasi dan pengarahan kepada masyarakat dan ke berbagai level pemerintahan di daerah juga sangat gencar dilakukan.
Namun demikian, posisi Indramayu yang sudah jauh tertinggal membuat upaya itu tidaklah mudah, meskipun berbagai terobosan dan proyek-proyek mercusuar telah dilakukan. Sampai akhir masa jabatan (periode pertama) H. Irianto MS. Syaifiuddin, tahun 2005, Indeks Pendidikan di Indramayu masih merupakan yang terendah di Jawa Barat, meskipun telah terjadi kenaikan angka melek huruf (AMH) yang signifikan, yakni sebesar 80,43 dan angka rata-rata lama sekolah (RLS) menjadi 6,01. IPM Indramayu pada waktu itu pun masih merupakan yang terendah di Jawa Barat, dengan indeks 64,48. Urutan ke dua terendah masih ditempati oleh Kabupaten Cirebon, namun kali ini dengan selisih yang semakin tipis, yakni 64,58. Rata-rata Jawa Barat pada waktu itu mencapai 69,35, jauh di atas IPM Indramayu.
Meskipun IPM telah resmi ditetapkan sebagai indikator pembangunan di Jawa Barat sejak tahun 2001 lalu, namun program pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten – kota di Jawa Barat umumnya belum terfokus ke arah peningkatan IPM. Indramayu merupakan salah satu dari sebagian kecil daerah di Jawa Barat yang sangat konsen dengan pencapaian IPM. Hal ini bisa dipahami, mengingat posisi Indramayu yang masih buncit dan butuh kerja ekstra keras untuk bisa menyejajarkan diri dengan daerah lainnya. Dalam rangka meningkatkan IPM Jawa Barat tersebut, pada tahun 2005, Pemerintah Propinsi menggulirkan Program Pendanaan Kompetisi akselerasi IPM (PPK-IPM). Melalui program ini, kabupaten – kota se-Jawa Barat diberikan kesempatan untuk bersaing mendapatkan dana dari Pemprov Jabar untuk program peningkatan IPM dengan mengajukan proposal. Pada tahun 2006, terpilih sembilan (9) daerah pemenang PPK-IPM. Lalu pada tahun 2007, ditetapkan enam (6) daerah penerima PPK-IPM. Selama dua tahun berturut-turut, Indramayu memperoleh dana PPK-IPM.
Dengan bantuan PPK-IPM tersebut, Indramayu berhasil menggeser posisi Kabupaten Cirebon (yang tidak mendapatkan dana PPK-IPM), dan menduduki posisi IPM ke dua terendah. Angka IPM Indramayu naik menjadi 65,72 mengalahkan Kabupaten Cirebon dengan IPM 65,51. Akan tetapi, naiknya IPM ini lebih disebabkan oleh naiknya indeks daya beli (IDB). Sementara indeks pendidikan (IP) Indramayu masih di bawah Kabupaten Cirebon dan masih yang terendah di Jawa Barat. Pada tahun 2007, posisi Indramayu masih menempati posisi terendah di antara daerah yang menerima dana PPK-IPM, dan diperkirakan masih urutan ke dua dengan IPM terendah di Jawa Barat. Hal ini menunjukkan bahwa masih dibutuhkan waktu dan usaha yang lebih keras lagi, agar pembangunan SDM Indramayu, minimal, bisa sejajar dengan daerah lainnya di Jawa Barat.
Walaupun pencapaian IPM belum terlalu menggembirakan, kita patut memberikan apresiasi terhadap kinerja Pemerintah Daerah Indramayu, yang secara perlahan terus memperkecil selisih ketertinggalan IPM Indramayu dengan daerah lainnya, yang tercermin dari rata-rata IPM Jawa Barat. Tahun 1999, IPM Indramayu sebesar 56,5, sementara IPM Jawa Barat sebesar 64,6. Dua tahun setelah kepemimpinan H. Irianto MS. Syafiuddin (2003), selisih ini mengecil. IPM Indramayu sebesar 61,9, sementara IPM Jawa Barat sebesar 67,67. Setelah dua tahun menerima dana PPK-IPM, pada tahun 2007, IPM Indramayu sebesar 67,4, sementara Jawa Barat sebesar 70,76. Dari angka-angka ini, terlihat perlahan tapi pasti, IPM Indramayu makin mendekati rata-rata IPM Jawa Barat. Dan jika kita hitung berdasarkan persentase kenaikan IPM tiap tahunnya, kenaikan IPM Indramayu merupakan yang terbesar di Jawa Barat. Wajar jika Pemerintah Propinsi, pada akhir tahun 2007 lalu, memberikan penghargaan kepada Pemerintah Daerah Indramayu sebagai pelaksana terbaik program kompetisi indeks pembangunan manusia (PPK-IPM).
Visi Pembangunan Sumberdaya Manusia Indramayu
IPM pada dasarnya hanya sebuah indikator pembangunan manusia yang disimplifikasi ke dalam tiga parameter: Indeks Pendidikan, Indeks Kesehatan dan Indeks Daya Beli. Ketiga parameter itu melekat satu sama lain, dan bermuara pada kesejahteraan hidup masyarakat. Selain untuk mengejar ketertinggalan indeks pendidikan yang masih terendah di Jawa Barat, upaya Pemerintah Daerah Indramayu dalam menggenjot pembangunan di sektor pendidikan pada dasarnya memiliki implikasi jangka panjang yang lebih luas. Pembangunan sektor pendidikan memiliki keterkaitan erat dengan pembangunan ekonomi.
Secara teori, pertumbuhan ekonomi dianggap berkualitas jika diiringi dengan (a) penurunan angka pengangguran dan (b) distribusi pendapatan masyarakat yang lebih baik. Ada dua penyebab terjadinya ketimpangan pendapatan. Pertama, menurut Kuznett (1955), adalah penguasaan faktor-faktor produksi yang tidak merata. Ini biasa terjadi pada negara-negara yang baru tumbuh. Ke dua, menurut Bartolini dan Rossi (1997), adalah distribusi tenaga kerja terampil. Hal ini terkait dengan tingkat pendidikan masyarakat. Jadi, dari sisi ekonomi, pembangunan sektor pendidikan berperan dalam menciptakan tenaga kerja (dalam arti luas) terampil, yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan masyarakat.
Sebagaimana kita ketahui, sebagian besar (52 %) masyarakat Indramayu adalah petani. Meski Indramayu memiliki lahan sawah yang luas (110 ribu ha), namun jika dibagi dengan jumlah tenaga kerja di sektor pertanian, maka lahan yang tersedia tidak cukup memadai. Wajar jika sektor ini merupakan penyumbang kemiskinan terbesar di Indramayu. Sementara itu, sebagian besar TKI yang berasal dari Indramayu (dan Indonesia pada umumnya) adalah tenaga kerja yang tidak terdidik. Konsekuensinya, bukannya meningkatkan kesejahteraan, malah mereka mengalami berbagai macam perlakuan yang tidak manusiawi, baik dari sisi finansial maupun berupa penganiayaan fisik.
Di masa-masa mendatang, seiring dengan pertumbuhan populasi dan makin sempitnya lahan, tenaga kerja di sektor pertanian mutlak harus dikurangi. Begitu juga dengan TKI yang tidak terdidik, secara bertahap harus diminimalisir. Tenaga-tenaga terdidik dari Indramayu harus diciptakan, selain untuk mensubstitusi tenaga kerja di kedua sektor tersebut, juga disiapkan untuk menyongsong era knowledge based economy (ekonomi berbasis pengetahuan) pada tahun-tahun mendatang. Struktur perekonomian Indramayu harus mengalami transformasi, dari ketergantungan kepada SDA (pertanian dan sumberdaya migas) ke sektor industri pengolahan yang berbasis kekayaan alam Indramayu. Untuk mencapai hal itu, sekali lagi, dibutuhkan tenaga kerja (‘pekerja’ dan ‘pengusaha’) terampil yang diciptakan melalui sistem pendidikan yang berkualitas. Wallahua’lam.

KPAI: Pola Asuh Cegah Kekerasan Seksual pada Anak

JAKARTA, KOMPAS.com — Pola asuh keluarga menjadi salah satu faktor pencegah kekerasan seksual terjadi pada anak. Sekretaris Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Erlinda mengatakan, ada baiknya, orangtua memberikan pendidikan karakter bagi anak-anak mereka.

"Fondasi utama keluarga menciptakan anak unggul sangat minim. Sudah saatnya keluarga mengambil peran atau tanggung jawab," ujar Erlinda, Minggu (25/5/2014).

Dia mengatakan, faktor ekonomi memang menjadi salah satu hal timbulnya kekerasan seksual terhadap anak-anak. Namun itu bukanlah hal yang utama. Dia mengatakan, di sisi lain, pengawasan di keluarga terhadap anak-anak pun sangat minim.

"Walaupun faktor ekonomi juga dapat menjadikan seseorang sebagai korban atau pelaku," ujarnya.

Erlinda menambahkan, tanpa disadari pengawasan masyarakat terhadap anak juga rendah. Banyak anak dibiarkan berpakaian minim atau pulang malam.

Hal inilah yang akhirnya mengundang pelaku kekerasan. Sebab, ujarnya, pelaku kekerasan sering kali bukan orang luar yang tidak dikenal. Bisa saja orang-orang di sekitar korban yang dipercaya bisa melindungi.

"Saya ingat sewaktu saya masih kecil dulu, kalau saya pergi sendiri pasti ditanya mau ke mana, lalu diantarkan. Kalau sekarang sudah tidak ada lagi seperti itu," katanya.

Orangtua saat ini, lanjutnya, terlalu membebaskan si anak untuk beraktivitas seorang diri. Erlinda menambahkan, bila terlihat tanda-tanda si anak mengalami atau telah terjadi penyimpangan, orangtua hendaknya tidak membentak atau menghukum.

"Ketika melihat telah ada perlakuan menyimpang justru dipeluk dan dibimbing ke arah sains atau agama. Ini yang jarang dimiliki orangtua," ujarnya.

Menurut Erlinda, banyak orang terenyak dengan terungkapnya berbagai kejahatan seksual terhadap anak dalam satu setengah bulan terakhir ini.

"Satu per satu kasus lain bermunculan, banyak yang bertanya ini fenomena apa? Ternyata pemerintah dan masyarakat belum siap dengan pendidikan seks usia dini. Ternyata apa yang kita khawatirkan terjadi," imbuhnya.

Sekolah Dasar


Sekolah dasar (disingkat SD) adalah jenjang paling dasar pada pendidikan formal di Indonesia. Sekolah dasar ditempuh dalam waktu 6 tahun, mulai dari kelas 1 sampai kelas 6. Lulusan sekolah dasar dapat melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Pertama (atau sederajat).
Pelajar sekolah dasar umumnya berusia 7-12 tahun. Di Indonesia, setiap warga negara berusia 7-15 tahun tahun wajib mengikuti pendidikan dasar, yakni sekolah dasar (atau sederajat) 6 tahun dan sekolah menengah pertama (atau sederajat) 3 tahun.
Sekolah dasar diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta. Sejak diberlakukannya otonomi daerah pada tahun 2001, pengelolaan sekolah dasar negeri (SDN) di Indonesia yang sebelumnya berada di bawah Kementerian Pendidikan Nasional, kini menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Sedangkan Kementerian Pendidikan Nasional hanya berperan sebagai regulator dalam bidang standar nasional pendidikan. Secara struktural, sekolah dasar negeri merupakan unit pelaksana teknis dinas pendidikan kabupaten/kota.
Dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Nomor 20 Tahun 2001) Pasal 17 mendefinisikan pendidikan dasar sebagai berikut:
(1) Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah.
(2) Pendidikan dasar berbentuk sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat.

Selasa, 20 Mei 2014

Profil Guru : AMIR MAHMUD



Pak Mahmud bertempat tinggal di Desa Tugu Blok B RT 06/03 Kecamatan Lelea kabupaten Indramayu. Di SDN Tunggulpayung III bertugas mengajar di Kelas II. Mulai tugas di sekolah ini sejak tahun 2006. Pernah sekolah di Pondok Pesantren Nurul Huda Munjul Astanajapura Cirebon. Hobi touring, jalan2 dan kuliner....

Alumni Angkatan 2014




DAFTAR PESERTA
UJIAN NASIONAL (UN) / UJIAN SEKOLAH (US)
TAHUN PELAJARAN 2013-2014

Nomor
Nama Peserta
Tempat,
tanggal lahir
Foto
Ket
Ur
Induk
UN
1
060701024
18-527-001-8
TOMI
Indramayu,
04-04-2000








2
080901001
18-527-002-7
ANI RAHAYU
Indramayu,
27-08-2002








3
060701006
18-527-003-6
CARKIM
Indramayu,
30-06-2002








4
080901003
18-527-004-5
ENTIYAH
Indramayu,
05-12-2001








5
080901004
18-527-005-4
FERDY SATRIO
Indramayu,
19-08-2001








6
080901005
18-527-006-3
MUSTOFA
Indramayu,
14-10-2002









Nomor
Nama Peserta
Tempat,
tanggal lahir
Foto
Ket
Ur
Induk
UN
7
080901006
18-527-007-2
KARTONO
Indramayu,
30-09-2001








8
080901007
18-527-008-9
MUHAMAD FADILAH RAHMAN
Indramayu,
05-03-2002








9
080901009
18-527-009-8
RUHADI
Indramayu,
08-02-2002








10
080901010
18-527-010-7
RUSNANTO
Indramayu,
03-02-2002








11
080901011
18-527-011-6
SITI NURJANAH
Indramayu,
04-01-2003








12
080901012
18-527-012-5
SAFITRI
Indramayu,
06-12-2001









Nomor
Nama Peserta
Tempat,
tanggal lahir
Foto
Ket
Ur
Induk
UN
13
080901013
18-527-013-4
SUNANTO
Indramayu,
14-06-2001








14
080901014
18-527-014-3
SUHADI
Indramayu,
06-06-2002








15
080901015
18-527-015-2
TUTI HARDIYANTI
Indramayu,
10-04-2002








16
080901016
18-527-016-9
TANAJI
Indramayu,
17-08-2001








17
080901017
18-527-017-8
TARSINI
Indramayu,
24-01-2001








18
080901019
18-527-018-7
WENNALDI IBNU HADI
Indramayu,
03-08-2002










Nomor
Nama Peserta
Tempat,
tanggal lahir
Foto
Ket
Ur
Induk
UN
19
080901024
18-527-019-6
WARYO
Indramayu,
11-03-2002








20
080901029
18-527-020-5
RANDI
Indramayu,
29-01-2001








21
091002018
18-527-021-4
DINI SARTIKA SARI
Indramayu,
01-01-2001









Tunggulpayung, 10 Maret 2014
Kepala Sekolah




DARKIMAN,S.Pd
NIP. 196306151986101005