Sekedar ikut mencatat sejarah, siapa tahu berguna bagi warga
Indramayu khususnya dan peserta didik, dan bagi siapa pun yang berkepentingan terhadap
sejarah Indramayu pada umumnya.
1. R. Singalodra (Wiralodra I)
2. R. Wirapati (Wiralodra II)
3. R. Sawedi (Wiralodra III)
4. R. Banggala (Wiralodra IV)
5. R. Banggali (Wiralodra V)
6. R. Samaun (Wiralodra VI)
7. R. Krestal (Wiralodra VII)
8. R. Marngali
9. R. Wiradibrata I
10. RT. Suranenggala
11. R. Djilari (Purbadinegara I) – (1900 – …)
12. R. Rolat (Purbadinegara II) – (1900 – 1917)
13. R. Sosrowardjojo (1917 – 1932)
14. R. AA Moch. Soediono (1933 – 1944)
15. Dr. R. Murdjani (1944 – 1946)
16. R. Wiraatmadja (1946 – 1947)
17. MI Syafiuddin (1947 – 1948)
18. R. Wachyu (1949 – 1950)
19. Tikol Al Moch. Ichlas (1950 – 1951)
20. TB. Moch. Cholil (1951 – …)
21. R. Djoko S. Prawirowidjojo (1952 – 1956)
22. R. Hasan Surjasatjakusumah (1956 – 1958)
23. R. Firman Ranuwidjojo (1958 – pj)
24. Entol Dj. Setiawihardja (1958 – 1960)
25. HA Dasuki (1960 – 1965)
26. M. Dirlam Sastromihardjo (1965 – 1973)
27. R. Hadian Suria Adiningrat (1974 – 1975)
28. HA Djahari, SH (1975 – 1985)
29. H. Adang Suryana (1985 – 1990)
30. H. Ope Mustofa (1990 – 2000)
31. DR. H. Irianto MS Syafiuddin (2000 – 2010)
32. Hj. Anna Sophanah (2010 – …sekarang)
Demikian.
endas
Alamat : Jl. Desa Tunggulpayung Blok IV (Lapangan Winong) Kecamatan Lelea Kabupaten Indramayu 45261
Minggu, 25 Mei 2014
Menakar Pembangunan SDM Indramayu
Pada
ranah global, kualitas pembangunan manusia diformulasikan dalam Human
Development Index (HDI), atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Konsep
ini pertama kali dibuat oleh PBB sekitar tahun 1953, namun baru
dikembangkan dan disosialisasikan secara luas oleh UNDP pada tahun
1990-an. Di Jawa Barat, IPM telah diresmikan sebagai indikator
pembangunan, melalui penerbitan Perda no. 1 tahun 2001. Konsep IPM
menyederhanakan kualitas kehidupan manusia dari tiga parameter: (a)
indeks pendidikan (IP), (b) indeks kesehatan (IK), dan (c) indeks daya
beli (IDB). Indeks pendidikan terdiri dari angka melek huruf (AMH) dan
angka rata-rata lama sekolah (RLS). Indeks kesehatan terdiri dari angka
harapan hidup (AHH) dan angka kematian bayi (AKB). Sedangkan indeks daya
beli diukur dari pendapatan masyarakat.
Dalam visi ‘Indramayu Remaja’ (Religius,
Maju, Mandiri dan Sejahtera), IPM secara tertulis dituangkan dalam visi
“sejahtera”. Sementara dalam misi ‘Sapta Karya Mulih Harja’, pembangunan
sumberdaya manusia mendapatkan prioritas pertama dalam strategi makro
pembangunan Indramayu.
Dengan dasar tersebut di atas, di sini saya
akan mengulas (‘menakar’) sedikit tentang capaian pembangunan yang telah
dilakukan oleh Pemerintah Daerah Indramayu berdasarkan parameter IPM,
khususnya Indeks Pendidikan. Mengingat sektor pendidikan Indramayu telah
menjadi sorotan banyak pihak. Pada sektor ini pula, kinerja Pemerintah
Daerah Indramayu dianggap berhasil, sehingga pada tahun 2004 lalu,
Bupati H. Irianto MS. Syafiuddin mendapat penghargaan dari PGRI sebagai
bupati terbaik pemerhati dan pejuang anak bangsa.
Capaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indramayu
Selama masa Orde Baru, Indramayu merupakan
daerah yang tertinggal dibandingkan dengan kabupaten – kota lainnya di
Jawa Barat, khususnya dalam hal pembangunan sumberdaya manusia. Hal ini
bisa dilihat dari capaian IPM Indramayu pada tahun 1999, yang menempati
posisi terendah di Jawa Barat, dengan nilai hanya 56.5. Kabupaten
Cirebon, yang menempati urutan ke dua terendah, nilainya cukup jauh di
atas Indramayu, yakni 61.6. Kondisi ini amat bertolak belakang dengan
potensi kekayaan daerah yang dimiliki, baik sumberdaya migas, pertanian
dan kelautan, luas dan letak geografis yang cukup strategis, dan
sebagainya.
Corak pembangunan yang sentralistis pada
masa itu mungkin merupakan penyebab utama dari terabaikannya pembangunan
SDM Indramayu. Dengan landasan UU no. 5/1974, Pemerintah Pusat
“menjarah” hampir seluruh kekayaan daerah. Misalnya sumberdaya migas,
menurut UU tersebut, 100% menjadi milik Pemerintah Pusat. Meskipun ada
mekanisme sumbangan daerah otonom (SDO), jumlahnya sangat tidak
sebanding dengan production sqeezing (istilah Sondakh, 2003) yang
dilakukan oleh Pemerintah Pusat, sehingga daerah kehilangan sumberdaya
yang dibutuhkan untuk pembangunan. Hal itu diperparah oleh political
will kepala daerah sangat rendah.
Lahirnya UU no. 22/1999 dan UU no. 25/1999,
memberikan peluang kepada daerah untuk membangun dan memanfaatkan
kekayaannya masing-masing untuk digunakan sebesar-besarnya bagi kemajuan
daerah. Kekayaan SDA dan keterbelakangan SDM adalah paradoks yang harus
dihilangkan. Oleh karena itu, kepala daerah terpilih pada waktu itu, H.
Irianto MS. Syafiuddin, telah mencanangkan berbagai program peningkatan
IPM. Yang perlu digarisbawahi, rendahnya IPM Indramayu terutama
disebabkan oleh Indeks Pendidikan (IP) yang teramat rendah. Angka melek
huruf hanya 66,7 dan rata-rata lama sekolah sebesar 3,9. Posisi terendah
ke dua ditempati oleh Subang, dengan angka melek huruf sebesar 86,2 dan
angka rata-rata lama sekolah sebesar 5,4, jauh meninggalkan Indramayu.
Bandingkan juga dengan rata-rata Jawa Barat untuk kedua parameter
tersebut, yakni sebesar 92,1 dan 6,8. Sangat memprihatinkan!
Wajar, jika Pemerintah Daerah Indramayu
terlihat sangat memprioritaskan pengembangan pendidikan sejak awal masa
pemerintahannya. Misalnya pada tahun 2002, Pemerintah Daerah mulai
merintis program beasiswa perguruan tinggi bagi siswa daerah yang
berprestasi. Program itu berlangsung hingga saat ini dan telah
mengantarkan ratusan siswa daerah ke berbagai perguruan tinggi negeri
ternama di negeri ini. Selain itu, berbagai program beasiswa untuk
pendidikan dasar dan menengah juga tengah digulirkan. Manajemen sekolah
diperbaiki. Berbagai insentif untuk pengelola pendidikan diberikan.
Sosialisasi dan pengarahan kepada masyarakat dan ke berbagai level
pemerintahan di daerah juga sangat gencar dilakukan.
Namun demikian, posisi Indramayu yang sudah
jauh tertinggal membuat upaya itu tidaklah mudah, meskipun berbagai
terobosan dan proyek-proyek mercusuar telah dilakukan. Sampai akhir masa
jabatan (periode pertama) H. Irianto MS. Syaifiuddin, tahun 2005,
Indeks Pendidikan di Indramayu masih merupakan yang terendah di Jawa
Barat, meskipun telah terjadi kenaikan angka melek huruf (AMH) yang
signifikan, yakni sebesar 80,43 dan angka rata-rata lama sekolah (RLS)
menjadi 6,01. IPM Indramayu pada waktu itu pun masih merupakan yang
terendah di Jawa Barat, dengan indeks 64,48. Urutan ke dua terendah
masih ditempati oleh Kabupaten Cirebon, namun kali ini dengan selisih
yang semakin tipis, yakni 64,58. Rata-rata Jawa Barat pada waktu itu
mencapai 69,35, jauh di atas IPM Indramayu.
Meskipun IPM telah resmi ditetapkan sebagai
indikator pembangunan di Jawa Barat sejak tahun 2001 lalu, namun program
pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten – kota di Jawa
Barat umumnya belum terfokus ke arah peningkatan IPM. Indramayu
merupakan salah satu dari sebagian kecil daerah di Jawa Barat yang
sangat konsen dengan pencapaian IPM. Hal ini bisa dipahami, mengingat
posisi Indramayu yang masih buncit dan butuh kerja ekstra keras untuk
bisa menyejajarkan diri dengan daerah lainnya. Dalam rangka meningkatkan
IPM Jawa Barat tersebut, pada tahun 2005, Pemerintah Propinsi
menggulirkan Program Pendanaan Kompetisi akselerasi IPM (PPK-IPM).
Melalui program ini, kabupaten – kota se-Jawa Barat diberikan kesempatan
untuk bersaing mendapatkan dana dari Pemprov Jabar untuk program
peningkatan IPM dengan mengajukan proposal. Pada tahun 2006, terpilih
sembilan (9) daerah pemenang PPK-IPM. Lalu pada tahun 2007, ditetapkan
enam (6) daerah penerima PPK-IPM. Selama dua tahun berturut-turut,
Indramayu memperoleh dana PPK-IPM.
Dengan bantuan PPK-IPM tersebut, Indramayu
berhasil menggeser posisi Kabupaten Cirebon (yang tidak mendapatkan dana
PPK-IPM), dan menduduki posisi IPM ke dua terendah. Angka IPM Indramayu
naik menjadi 65,72 mengalahkan Kabupaten Cirebon dengan IPM 65,51. Akan
tetapi, naiknya IPM ini lebih disebabkan oleh naiknya indeks daya beli
(IDB). Sementara indeks pendidikan (IP) Indramayu masih di bawah
Kabupaten Cirebon dan masih yang terendah di Jawa Barat. Pada tahun
2007, posisi Indramayu masih menempati posisi terendah di antara daerah
yang menerima dana PPK-IPM, dan diperkirakan masih urutan ke dua dengan
IPM terendah di Jawa Barat. Hal ini menunjukkan bahwa masih dibutuhkan
waktu dan usaha yang lebih keras lagi, agar pembangunan SDM Indramayu,
minimal, bisa sejajar dengan daerah lainnya di Jawa Barat.
Walaupun pencapaian IPM belum terlalu
menggembirakan, kita patut memberikan apresiasi terhadap kinerja
Pemerintah Daerah Indramayu, yang secara perlahan terus memperkecil
selisih ketertinggalan IPM Indramayu dengan daerah lainnya, yang
tercermin dari rata-rata IPM Jawa Barat. Tahun 1999, IPM Indramayu
sebesar 56,5, sementara IPM Jawa Barat sebesar 64,6. Dua tahun setelah
kepemimpinan H. Irianto MS. Syafiuddin (2003), selisih ini mengecil. IPM
Indramayu sebesar 61,9, sementara IPM Jawa Barat sebesar 67,67. Setelah
dua tahun menerima dana PPK-IPM, pada tahun 2007, IPM Indramayu sebesar
67,4, sementara Jawa Barat sebesar 70,76. Dari angka-angka ini,
terlihat perlahan tapi pasti, IPM Indramayu makin mendekati rata-rata
IPM Jawa Barat. Dan jika kita hitung berdasarkan persentase kenaikan IPM
tiap tahunnya, kenaikan IPM Indramayu merupakan yang terbesar di Jawa
Barat. Wajar jika Pemerintah Propinsi, pada akhir tahun 2007 lalu,
memberikan penghargaan kepada Pemerintah Daerah Indramayu sebagai
pelaksana terbaik program kompetisi indeks pembangunan manusia
(PPK-IPM).
Visi Pembangunan Sumberdaya Manusia Indramayu
IPM pada dasarnya hanya sebuah indikator
pembangunan manusia yang disimplifikasi ke dalam tiga parameter: Indeks
Pendidikan, Indeks Kesehatan dan Indeks Daya Beli. Ketiga parameter itu
melekat satu sama lain, dan bermuara pada kesejahteraan hidup
masyarakat. Selain untuk mengejar ketertinggalan indeks pendidikan yang
masih terendah di Jawa Barat, upaya Pemerintah Daerah Indramayu dalam
menggenjot pembangunan di sektor pendidikan pada dasarnya memiliki
implikasi jangka panjang yang lebih luas. Pembangunan sektor pendidikan
memiliki keterkaitan erat dengan pembangunan ekonomi.
Secara teori, pertumbuhan ekonomi dianggap
berkualitas jika diiringi dengan (a) penurunan angka pengangguran dan
(b) distribusi pendapatan masyarakat yang lebih baik. Ada dua penyebab
terjadinya ketimpangan pendapatan. Pertama, menurut Kuznett (1955),
adalah penguasaan faktor-faktor produksi yang tidak merata. Ini biasa
terjadi pada negara-negara yang baru tumbuh. Ke dua, menurut Bartolini
dan Rossi (1997), adalah distribusi tenaga kerja terampil. Hal ini
terkait dengan tingkat pendidikan masyarakat. Jadi, dari sisi ekonomi,
pembangunan sektor pendidikan berperan dalam menciptakan tenaga kerja
(dalam arti luas) terampil, yang pada akhirnya akan meningkatkan
pendapatan masyarakat.
Sebagaimana kita ketahui, sebagian besar (52
%) masyarakat Indramayu adalah petani. Meski Indramayu memiliki lahan
sawah yang luas (110 ribu ha), namun jika dibagi dengan jumlah tenaga
kerja di sektor pertanian, maka lahan yang tersedia tidak cukup memadai.
Wajar jika sektor ini merupakan penyumbang kemiskinan terbesar di
Indramayu. Sementara itu, sebagian besar TKI yang berasal dari Indramayu
(dan Indonesia pada umumnya) adalah tenaga kerja yang tidak terdidik.
Konsekuensinya, bukannya meningkatkan kesejahteraan, malah mereka
mengalami berbagai macam perlakuan yang tidak manusiawi, baik dari sisi
finansial maupun berupa penganiayaan fisik.
Di masa-masa mendatang, seiring dengan
pertumbuhan populasi dan makin sempitnya lahan, tenaga kerja di sektor
pertanian mutlak harus dikurangi. Begitu juga dengan TKI yang tidak
terdidik, secara bertahap harus diminimalisir. Tenaga-tenaga terdidik
dari Indramayu harus diciptakan, selain untuk mensubstitusi tenaga kerja
di kedua sektor tersebut, juga disiapkan untuk menyongsong era knowledge based economy
(ekonomi berbasis pengetahuan) pada tahun-tahun mendatang. Struktur
perekonomian Indramayu harus mengalami transformasi, dari ketergantungan
kepada SDA (pertanian dan sumberdaya migas) ke sektor industri
pengolahan yang berbasis kekayaan alam Indramayu. Untuk mencapai hal
itu, sekali lagi, dibutuhkan tenaga kerja (‘pekerja’ dan ‘pengusaha’)
terampil yang diciptakan melalui sistem pendidikan yang berkualitas. Wallahua’lam.
KPAI: Pola Asuh Cegah Kekerasan Seksual pada Anak
JAKARTA, KOMPAS.com —
Pola asuh keluarga menjadi salah satu faktor pencegah kekerasan seksual
terjadi pada anak. Sekretaris Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
Erlinda mengatakan, ada baiknya, orangtua memberikan pendidikan
karakter bagi anak-anak mereka.
"Fondasi utama keluarga menciptakan anak unggul sangat minim. Sudah saatnya keluarga mengambil peran atau tanggung jawab," ujar Erlinda, Minggu (25/5/2014).
Dia mengatakan, faktor ekonomi memang menjadi salah satu hal timbulnya kekerasan seksual terhadap anak-anak. Namun itu bukanlah hal yang utama. Dia mengatakan, di sisi lain, pengawasan di keluarga terhadap anak-anak pun sangat minim.
"Walaupun faktor ekonomi juga dapat menjadikan seseorang sebagai korban atau pelaku," ujarnya.
Erlinda menambahkan, tanpa disadari pengawasan masyarakat terhadap anak juga rendah. Banyak anak dibiarkan berpakaian minim atau pulang malam.
Hal inilah yang akhirnya mengundang pelaku kekerasan. Sebab, ujarnya, pelaku kekerasan sering kali bukan orang luar yang tidak dikenal. Bisa saja orang-orang di sekitar korban yang dipercaya bisa melindungi.
"Saya ingat sewaktu saya masih kecil dulu, kalau saya pergi sendiri pasti ditanya mau ke mana, lalu diantarkan. Kalau sekarang sudah tidak ada lagi seperti itu," katanya.
Orangtua saat ini, lanjutnya, terlalu membebaskan si anak untuk beraktivitas seorang diri. Erlinda menambahkan, bila terlihat tanda-tanda si anak mengalami atau telah terjadi penyimpangan, orangtua hendaknya tidak membentak atau menghukum.
"Ketika melihat telah ada perlakuan menyimpang justru dipeluk dan dibimbing ke arah sains atau agama. Ini yang jarang dimiliki orangtua," ujarnya.
Menurut Erlinda, banyak orang terenyak dengan terungkapnya berbagai kejahatan seksual terhadap anak dalam satu setengah bulan terakhir ini.
"Satu per satu kasus lain bermunculan, banyak yang bertanya ini fenomena apa? Ternyata pemerintah dan masyarakat belum siap dengan pendidikan seks usia dini. Ternyata apa yang kita khawatirkan terjadi," imbuhnya.
"Fondasi utama keluarga menciptakan anak unggul sangat minim. Sudah saatnya keluarga mengambil peran atau tanggung jawab," ujar Erlinda, Minggu (25/5/2014).
Dia mengatakan, faktor ekonomi memang menjadi salah satu hal timbulnya kekerasan seksual terhadap anak-anak. Namun itu bukanlah hal yang utama. Dia mengatakan, di sisi lain, pengawasan di keluarga terhadap anak-anak pun sangat minim.
"Walaupun faktor ekonomi juga dapat menjadikan seseorang sebagai korban atau pelaku," ujarnya.
Erlinda menambahkan, tanpa disadari pengawasan masyarakat terhadap anak juga rendah. Banyak anak dibiarkan berpakaian minim atau pulang malam.
Hal inilah yang akhirnya mengundang pelaku kekerasan. Sebab, ujarnya, pelaku kekerasan sering kali bukan orang luar yang tidak dikenal. Bisa saja orang-orang di sekitar korban yang dipercaya bisa melindungi.
"Saya ingat sewaktu saya masih kecil dulu, kalau saya pergi sendiri pasti ditanya mau ke mana, lalu diantarkan. Kalau sekarang sudah tidak ada lagi seperti itu," katanya.
Orangtua saat ini, lanjutnya, terlalu membebaskan si anak untuk beraktivitas seorang diri. Erlinda menambahkan, bila terlihat tanda-tanda si anak mengalami atau telah terjadi penyimpangan, orangtua hendaknya tidak membentak atau menghukum.
"Ketika melihat telah ada perlakuan menyimpang justru dipeluk dan dibimbing ke arah sains atau agama. Ini yang jarang dimiliki orangtua," ujarnya.
Menurut Erlinda, banyak orang terenyak dengan terungkapnya berbagai kejahatan seksual terhadap anak dalam satu setengah bulan terakhir ini.
"Satu per satu kasus lain bermunculan, banyak yang bertanya ini fenomena apa? Ternyata pemerintah dan masyarakat belum siap dengan pendidikan seks usia dini. Ternyata apa yang kita khawatirkan terjadi," imbuhnya.
Sekolah Dasar
Sekolah dasar (disingkat SD) adalah jenjang paling dasar pada pendidikan formal di Indonesia. Sekolah dasar ditempuh dalam waktu 6 tahun, mulai dari kelas 1 sampai kelas 6. Lulusan sekolah dasar dapat melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Pertama (atau sederajat).
Pelajar sekolah dasar umumnya berusia 7-12 tahun. Di Indonesia, setiap warga negara berusia 7-15 tahun tahun wajib mengikuti pendidikan dasar, yakni sekolah dasar (atau sederajat) 6 tahun dan sekolah menengah pertama (atau sederajat) 3 tahun.
Sekolah dasar diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta. Sejak diberlakukannya otonomi daerah pada tahun 2001, pengelolaan sekolah dasar negeri (SDN) di Indonesia yang sebelumnya berada di bawah Kementerian Pendidikan Nasional, kini menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Sedangkan Kementerian Pendidikan Nasional hanya berperan sebagai regulator dalam bidang standar nasional pendidikan. Secara struktural, sekolah dasar negeri merupakan unit pelaksana teknis dinas pendidikan kabupaten/kota.
Dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Nomor 20 Tahun 2001) Pasal 17 mendefinisikan pendidikan dasar sebagai berikut:
(1) Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah.
(2) Pendidikan dasar berbentuk sekolah dasar (SD) dan madrasah
ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah
pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang
sederajat.
Selasa, 20 Mei 2014
Profil Guru : AMIR MAHMUD
Alumni Angkatan 2014
DAFTAR PESERTA
UJIAN
NASIONAL (UN) / UJIAN SEKOLAH (US)
TAHUN
PELAJARAN 2013-2014
Nomor
|
Nama Peserta
|
Tempat,
tanggal lahir
|
Foto
|
Ket
|
||
Ur
|
Induk
|
UN
|
||||
1
|
060701024
|
18-527-001-8
|
TOMI
|
Indramayu,
04-04-2000
|
|
|
2
|
080901001
|
18-527-002-7
|
ANI RAHAYU
|
Indramayu,
27-08-2002
|
|
|
3
|
060701006
|
18-527-003-6
|
CARKIM
|
Indramayu,
30-06-2002
|
|
|
4
|
080901003
|
18-527-004-5
|
ENTIYAH
|
Indramayu,
05-12-2001
|
|
|
5
|
080901004
|
18-527-005-4
|
FERDY SATRIO
|
Indramayu,
19-08-2001
|
|
|
6
|
080901005
|
18-527-006-3
|
MUSTOFA
|
Indramayu,
14-10-2002
|
|
|
Nomor
|
Nama Peserta
|
Tempat,
tanggal lahir
|
Foto
|
Ket
|
||
Ur
|
Induk
|
UN
|
||||
7
|
080901006
|
18-527-007-2
|
KARTONO
|
Indramayu,
30-09-2001
|
|
|
8
|
080901007
|
18-527-008-9
|
MUHAMAD FADILAH RAHMAN
|
Indramayu,
05-03-2002
|
|
|
9
|
080901009
|
18-527-009-8
|
RUHADI
|
Indramayu,
08-02-2002
|
|
|
10
|
080901010
|
18-527-010-7
|
RUSNANTO
|
Indramayu,
03-02-2002
|
|
|
11
|
080901011
|
18-527-011-6
|
SITI NURJANAH
|
Indramayu,
04-01-2003
|
|
|
12
|
080901012
|
18-527-012-5
|
SAFITRI
|
Indramayu,
06-12-2001
|
|
|
Nomor
|
Nama Peserta
|
Tempat,
tanggal lahir
|
Foto
|
Ket
|
||
Ur
|
Induk
|
UN
|
||||
13
|
080901013
|
18-527-013-4
|
SUNANTO
|
Indramayu,
14-06-2001
|
|
|
14
|
080901014
|
18-527-014-3
|
SUHADI
|
Indramayu,
06-06-2002
|
|
|
15
|
080901015
|
18-527-015-2
|
TUTI HARDIYANTI
|
Indramayu,
10-04-2002
|
|
|
16
|
080901016
|
18-527-016-9
|
TANAJI
|
Indramayu,
17-08-2001
|
|
|
17
|
080901017
|
18-527-017-8
|
TARSINI
|
Indramayu,
24-01-2001
|
|
|
18
|
080901019
|
18-527-018-7
|
WENNALDI IBNU
HADI
|
Indramayu,
03-08-2002
|
|
|
Nomor
|
Nama Peserta
|
Tempat,
tanggal lahir
|
Foto
|
Ket
|
||
Ur
|
Induk
|
UN
|
||||
19
|
080901024
|
18-527-019-6
|
WARYO
|
Indramayu,
11-03-2002
|
|
|
20
|
080901029
|
18-527-020-5
|
RANDI
|
Indramayu,
29-01-2001
|
|
|
21
|
091002018
|
18-527-021-4
|
DINI SARTIKA
SARI
|
Indramayu,
01-01-2001
|
|
|
Tunggulpayung, 10
Maret 2014
Kepala Sekolah
DARKIMAN,S.Pd
NIP. 196306151986101005
Langganan:
Postingan (Atom)