Mengapa Anakku Bandel Sekali?
Pertanyaan di atas tentu saja pernah terlintas bahkan dilontarkan oleh kebanyakan orang tua. Terutama saat melihat sang buah hati bertingkah di luar kemampuan orang tua menghadapinya.
Saya
sendiri, sebagai seorang pendidik, sering kali melontarkan pertanyaan
bernada sama, jika melihat anak-anak didik saya bandel. Entah, kenapa
ya, kok si A suka sekali memukul? Kenapa si B suka sekali berbohong?
Kenapa si Z mudah sekali menangis? Dan sederet kenapa-kenapa yang lain.
Tapi,sadarkah
kita, bahwa sebenarnya kebandelan yang terjadi pada anak-anak kita
sebenarnya adalah hasil pendidikan kita terhadap mereka?
Sebagai
orang tua dan pendidik, sering kali kita tidak sadar bahwa kita terlalu
keras terhadap mereka atau bahkan sebaliknya, terlalu mudah menyerah
pada anak dan memperturutkan semua yang dituntut anak pada kita.
Alasannya klasiknya, kita enggan mendengar keributan-keributan.
Bahkan,
beberapa orang tua sering kali bersikap tak mau ambil pusing. Sangat
acuh dan kurang sekali memperhatikan perkembangan anak-anaknya.
Saya
pernah menghadapi wali murid seperti ini. Pagi hari, si anak ditinggal
di sekolah, dengan pakaian seadanya, masih dengan sedikit bau tak sedap
dan belum sarapan. Sore harinya, si anak sering kali dijemput terlambat,
bisa berjam-jam dari jam jemput yang seharusnya. Di sekolah? Si anak
sendiri terkategori paling tua di kelas. Namun perkembangan fisik dan
daya pikirnya sangat lambat.
Ada
pula, orang tua yang terlalu otoriter dan mengekang anaknya. Di rumah,
tidak boleh ini, tidak boleh itu, tanpa memberinya pengertian tentang
apa-apa saja yang dilarang. Hasilnya? Di sekolah, anak tersebut merasa
bebas berekspresi, dan berujung dengan tangisan kawannya karena dipukul.
Beberapa
orang tua juga terlalu sibuk bekerja. Jarang sekali memperhatikan buah
hatinya saat di rumah. Respon anak biasanya berbeda-beda. Ada yang
akhirnya frontal, mencari perhatian dengan cara berbuat onar. Ada juga
yang akhirnya menarik diri dan enggan bergabung dengan kawannya. Ada
juga yang lebih suka bolos sekolah dan menghabiskan waktu di rumah
dengan menonton TV dan mendengarkan musik-musik orang dewasa. Dan
parahnya, sejak kecil tanpa pengawasan, pergaulan mereka menjadi tidak
terarah.
Saya
sangat ngeri mendengar keluhan seorang ibu saat berkonsultasi dengan
saya di forum. Ibu itu mengeluhkan betapa anaknya sekarang sangat suka
berbohong. Apa saja dilakukan asal keinginannya dituruti. Terutama
masalah menonton TV dan mendengarkan lagu-lagu orang dewasa. Pernah,
ujar sang ibu dengan ekspresi penuh sesal, anak saya dicium-cium oleh
teman mainnya di komplek rumah.
Mendengar
itu saya sedikit shock. Belum lagi selesai kekagetan saya, ibu itu
malenjutkan, bahkan mereka pernah bermain di rumah, berguling-gulingan
dan bergumul di tempat tidur. Masya Allah…
Sedih. Tentu saja.
Tapi,
mau tak mau saya kembalikan lagi pada orang tua anak tersebut.
Pendidikan semua berawal dari rumah dan kembali lagi ke rumah. Sekolah,
kami para guru hanya bisa memberikan pengawasan, arahan, dan didikan
selama mereka di sekolah. Jika mereka telah pulang ke rumah, maka
kewajiban orang tualah yang melanjutkan, mengembangkan, mempertahankan
apa-apa yang telah anak-anak dapatkan di sekolah.
Kami
tidak mengajarkan anak-anak menonton TV, tegas saya. Saya bahkan
memberikan batasan-batasan acara TV apa saja yang boleh dilihat oleh
anak-anak. Hanya acara-acara edukasi yang saya anjurkan. Itu pun, saya
sudah meminta tolong pada seluruh orang tua untuk senantiasa mendampingi
anak saat melihat TV.
Inilah
yang patut kita waspadai sebagai orang tua dan pendidik. Yakni agar
mampu bersikap di tengah. Kita bisa tegas, namun tidak berkesan otoriter
pada anak. Tapi, kita juga bisa lembut, namun tidak terlalu permisif
dan terlampau cuek.
Kita
semua belajar. Setiap orang tua yang sadar akan pentingnya pendidikan
anak-anak mereka pasti akan dan mau belajar. Membenahi pola asuh,
memberikan perhatian yang cukup, menghargai anak dengan segala
kekonyolannya, menjaga komunikasi, dan lain sebagainya.
Pada
intinya, kita mendidik harus dengan cinta. Kita mendidik bukan untuk
menjadikan mereka seperti yang kita mau. Namun mengembangkan bakatnya
yang positif, tanpa harus membunuh karakternya.
Berikan
penghargaan-penghargaan. Tak harus melulu materi atau segudang pujian.
Namun seulas senyum yang tulus atas hasil pekerjaannya akan memiliki
nilai yang sangat berarti bagi putra-putri Anda.
Jika
Anda ingin menghukum atas kebandelan-kebandelannya, maka hukumlah pada
porsi yang benar. Anda boleh menghukumnya secara fisik. Namun jangan
sampai membuatnya trauma. Cukup membuatnya jera dan tidak mengulangi
perbuatannya lagi.
Dan
yang pasti, sebandel apapun anak Anda, hindari pemakaian kata-kata atau
julukan-julukan yang bisa membuatnya rendah diri dan menarik diri.
Seperti, si bandel, si Bengal, si pembohong, dan si-si yang lainnya.
Jika ingin mengingatkannya, maka ingatkan dengan cara yang lebih santun.
Misalnya, “Anak ummi ini anak sholeh bukan ya? Kok memukul? Hayoo…yang
suka memukul itu temannya siapa? Nah, kalau tidak mau jadi temannya
syaithan, boleh tidak kita memukul?”
Jangan
pula menyebutkan kesalahan-kesalahannya pada orang lain di depan anak
kita. Misalnya, “tolong tangani anak ini, saya sudah tidak kuat lagi
menghadapi tingkah lakunya yang berandal!”. Anak akan semakin menarik
diri dan enggan mendekat pada Anda. Padahal, seorang anak- saya yakin,
sebagian besar dari mereka- sangat mudah “kembali ke jalan yang benar”
jika kita mendidiknya dengan penuh cinta dan kesabaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar