Basa Sunda Lelea - Dermayu
“Punten Cakana boga kotok bibit? Caang tah poek? Kami aya perlu. Kami
ndak nanya ka anak kita, daek tah hente? Diterima tah hente? Kami mawa
jago ndak ngan-jang. Mun diterima, iye serena. Esina aya gambir, bako,
serejeng lainna. Ngges ente Hia, kami ndak goyang, panglamaran diterima
mah. Sejen poe, kami ndak nentuken waktu, jeng nentuken poe kawinna.”
Ada nuansa yang terasa asing pada penggunaan bahasa Sunda seperti di
atas. Bahasa yang digunakan mayoritas penduduk di Jawa Barat itu, di
Indramayu seperti terjadi distorsi dan akulturasi dengan bahasa daerah
lainnya (Cirebon/Indramayu dan Melayu-Betawi).
Bahasa Sunda yang khas itu sudah be-rabad-abad digunakan, yakni di Desa
Parean Girang, Bulak, dan Ilir Kecamatan Kandang-haur, serta Desa Lelea
dan pemekarannya, Tamansari Kecamatan Lelea. Masyarakat mengenalnya
sebagai bahasa Sunda-Parean dan Sunda-Lea.
Maksud kalimat di atas adalah, “Katanya punya anak gadis? Sudah punya
pasangan belum? Saya ada perlu. Saya hendak bertanya kepada anak
saudara, diterima atau tidak? Saya membawa jago hendak melamar. Kalau
diterima, ini sirihnya. Isinya ada gambir, tembakau, sirih, dan lainnya.
Sudah ya, saya tidak lama-lama, saya hendak pulang, kalau lamaran
diterima mah. Lain hari, saya hendak menentukan waktu dan menentukan
hari perkawinan.”
Kosakata asing dalam bahasa Sunda bermunculan pada kalimat di atas,
seperti kami, kita, goyang. Sepintas kosakata tersebut seperti kata
serapan dari bahasa Indonesia. Setelah mengetahui artinya, temyata
bukan.
Kami artinya saya, dalam arti tunggal, bukan jamak. Kita berarti
saudara. Goyang mengambil serapan dari bahasa Indramayu, yang artinya
pulang.
Penggunaan kosakata kami merupakan pengambilan undak usuk yang dianggap
halus dibandingkan aing, meski ada yang lebih halus lagi yakni kolo.
Kosakata kita juga lebih halus, sebab penggunaan yang kasarnya adala
inya. Dalam percakapan sehari-hari tentu saja akan lebih banyak lagi
dijumpai kata-kata atau kalimat yang asing. Keasingan itu bisa jadi akan
menimbulkan kesalapahaman, bahkan pengertian yang berbeda bagi orang
luar.
“Bini aing benang kebanjir” disangka orang luar sebagai “istri saya
hanyut oleh banjir”, padahal artinya “benih padi saya hanyut kena
banjir”. “Melak waluh, buahna kendi?” disangka sebagai “menanam labu,
buahnya kendi?” padahal artinya, “menanam labu, buahnya mana?”
Urutan penyebutan bilangan dari satu sampai sepuluh juga agak berbeda
dengan bahasa Sunda, yakni siji, dua, tolu, opat, lima, genep, tuju,
delapan, salapan, sepulu. Bisa jadi pula akan dijumpai kosakata, seperti
seneng atau senung (anak perempuan), senang (anak laki-laki), kaka
(kakak), cowene (gadis), perja-ka (jejaka), laki (lelaki), wewe
(perempuan), ataupun ewe aing (istri). Keunikan kosakata seperti itu
sering dijadikan “keusilan” bagi pihak luar sehingga muncullah kosakata
pa-notog aing untuk menyebut suami.
Jika dalam bahasa Sunda mengenal abjad eu, dalam bahasa Sunda-Parean
maupun Sunda-Lea hal seperti itu tampaknya tidak digunakan. Dalam
penulisan maupun pengucapan selurunya menjadi e, seperti halnya bahasa
Jawa setempat. Pada kosakata heunteu, misalnya, ditulis hente.
Pengaruh Jawa dan Melayu
Secara geografis, komunitas pengguna bahasa Sunda-Parean di Kecamatan
Kandang-haur dan Sunda-Lea di Kecamatan Lelea di kelilingi komunitas
pengguna bahasa Cirebon Indramayu.
Sangat mungkin beberapa kosakata dari bahasa Jawa atau Cirebon-Indramayu
ikut memengaruhi. Begitu pula dari bahasa Melayu atau bahasa Indonesia.
Letak kedua kecamatan itu cukup berjauhan sekitar 30 km serta jauh pula
dari wilayah Pasundan. Kandanghaur berada di pantai utara, dengan
mayoritas penduduknya adalah nelayan sangat mungkin bersentuhan dengan
pengguna bahasa daerah lain.
Meski demikian, fanatisme pengguna bahasa Sunda-Parean tetap kuat pada
empat desa. Hal yang berbeda pada pengguna bahasa Sunda-Lea yang kini
kuantitasnya agak menurun karena kuatnya pengaruh bahasa Indramayu di
sekitarnya.
Baik orang Parean maupun Lelea menganggap terciptanya komunitas Sunda
terse-but berasal dari pengaruh Sumedang ketika menjadi kerajaan yang
cukup masyhur. Wilayah Sumedang hingga mencapai tanah di Indramayu.
Akulturasi yang terjadi kemudian menciptakan masyarakat setempat menjadi
dwiba-hasawan. Pengguna bahasa Sunda-Parean dan Sunda-Lea memahami
bahasa Cirebon-Indramayu, begitu pula sebaliknya. Percakapan sehari-hari
antarkeduanya sering kali masing-masing menggunakan bahasanya sendiri,
tetapi tetap komunikatif.
Ambil contoh percakapan dua bahasa itu yang dilakukan orang dari Parean
yang berbahasa Sunda-Parean dengan orang dari desa tetangga, yakni Desa
Eratan yang berbahasa Cirebon-Indramayu.
Orang Parean, “Aing biena ndak nyokot es ke inya. Mung Wa Kaji nawaran
es ke kami, jadi kami te enakan, orah?” (Saya tadinya mau mengambil es
ke kamu. Tetapi Wak Haji, menawarkan es ke saya. Jadi, saya tidak enakan
ten?)
Orang Eretan, Ya, wis beli papa, sejen dina bae.” (Ya, sudah tidak apa-apa. Lain hari saja).
Orang Parean, “Oh, ngges. Suun*n. “(Oh, ya sudah, terima kasih).
Orang Eretan “Nggih.”(Ya).
Sunda-minoritas
Selain empat desa di Kecamatan Kandanghaur dan dua desa di Kecamatan
Lelea, bahasa Sunda di Indramayu juga dijumpai di beberapa desa dan
kecamatan lainnya. Meski demikian, hampir tak ada perbedaan kosakata
dengan bahasa Sunda di Pasundan, selain di alek.
Hal itu karena secara kultural penggunanya adalah masyarakat Sunda yang
ada di perbatasan Kabupaten Indramayu dengan Subang maupun Sumedang.
Penggunanya antara lain di Desa Cikawung Kecamatan Terisi serta beberapa
desa di Kecamatan Gantar dan Kecamatan Haurgeulis. Sedangkan di Blok
Karangjaya, Desa Mangunjaya, Kecamatan Anjatan, asal usulnya adalah
keluarga dari Bandung pada awal abad ke-20.
Pengguna bahasa Sunda di Indramayu boleh dikatakan minoritas di antara
301 desa dan 31 kecamatan. Menjadi Sunda-minoritas di Jawa Barat memang
agak aneh kedengarannya. Ibaratnya Jawa Barat identik dengan Sunda dan
Sunda identik dengan Jawa Barat.
Namun demikianlah kenyataannya bagi masyarakat Sunda yang berdiam di
Kabupaten Indramayu. Mereka adalah minoritas – dengan segala kekhasannya
– di tengah-tengah masyarakat Indramayu yang Jawa.
Menjadi minoritas ataupun mayoritas, tentu saja bukan sesuatu yang
salah. Tak ada sudut pandang untuk menjadi merasa kecil ataupun besar.
Keunikan pada bahasa Sunda-Parean dan Sunda-Lea dalam kacamata bahasa
Sunda, bisa jadi sesuatu yang tidak berbeda jauh ketika bahasa
Cirebon-Indramayu dilihat dari kacamata bahasa Jawa yang ada di Solo
atau Yogyakarta. Bahasa Jawa yang terasa asing, sekaligus unik
Ini merupakan fenomena budaya masyarakat yang mengalami diaspora
(terpisah dari induknya). Di tanah kehidupan yang baru, unsur budaya
nenek moyang terjepit dengan unsur-unsur kebudayaan masyarakat setempat.
Yang terjadi kemudian proses akulturasi budaya yang dalam gejala
kebahasaan ada serapan dan ada juga pelepasan, yang kemudian membentuk
bahasa hibrid, yang unik. ***
Supali Kasim, Ketua III Lembaga Basa lan Sastra Cerbon (LBSC).
dijukut sing http://bataviase.co.id/ kesuwun Kang…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar