I. PENGERTIAN SHOLAT JAMA'
Shalat yang
digabungkan, yaitu mengumpulkan dua shalat fardhu yang dilaksanakan
dalam satu waktu. Misalnya,
shalat Dzuhur dan Ashar dikerjakan pada waktu Dzuhur atau
pada waktu Ashar. Shalat Maghrib dan Isya’ dilaksanakan pada
waktu Maghrib atau pada waktu Isya’.
Sedangkan
Subuh tetap pada waktunya dan tidak boleh digabungkan dengan shalat lain.
Shalat Jama' ini boleh dilaksankan karena bebrapa alasan (halangan) berikut
ini :
a. Dalam perjalanan yang bukan
untuk maksiat
b. Apabila turun hujan lebat
c. Karena sakit dan takut
d. Jarak yang ditempuh cukup jauh,
yakni kurang lebihnya 81 km (begitulah yang disepakati oleh sebagian Imam Madzhab sebagaimana
disebutkan dalam kitab AL-Fikih, Ala al Madzhabhib al Arba’ah,
sebagaimana pendapat para ulama madzhab Maliki, Syafi’i dan Hambali).
Tetapi
sebagian ulama lagi berpendapat bahwa jarak perjalanan (musafir) itu
sekurang-kurangnya dua hari perjalanan kaki atau dua
marhalah, yaitu 16 (enam belas) Farsah, sama
dengan 138 (seratus tiga puluh delapan) km.
Menjama’
shalat boleh dilakukan oleh siapa saja yang memerlukannya, baik musafir atau
bukan dan tidak boleh dilakukan terus menerus tanpa udzur, jadi dilakukan
ketika diperlukan saja. (lihat Taudhihul Ahkam, Al Bassam 2/308-310 dan
Fiqhus Sunnah 1/316-317).
Syeikhul
Islam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa qashar shalat hanya disebabkan oleh safar
(bepergian) dan tidak diperbolehkan bagi orang yang tidak safar. Adapun jama’
shalat disebabkan adanya keperluan dan uzur. Apabila seseorang membutuhkannya
(adanya suatu keperluan) maka dibolehkan baginya melakukan jama’ shalat dalam
suatu perjalanan jarak jauh maupun dekat, demikian pula jama’ shalat juga
disebabkan hujan atau sejenisnya, juga bagi seorang yang sedang sakit atau
sejenisnya atau sebab-sebab lainnya karena tujuan dari itu semua adalah
mengangkat kesulitan yang dihadapi umatnya.” (Majmu’ al Fatawa juz XXII hal
293).
Termasuk
udzur yang membolehkan seseorang untuk menjama’ shalatnya adalah musafir ketika
masih dalam perjalanan dan belum sampai di tempat tujuan (HR. Bukhari,
Muslim), turunnya hujan (HR. Muslim, Ibnu Majah dll), dan orang
sakit. (Taudhihul Ahkam, Al Bassam 2/310, Al Wajiz, Abdul Adhim bin Badawi
Al Khalafi 139-141, Fiqhus Sunnah 1/313-317).
Berkata Imam
Nawawi Rahimahullah : ”Sebagian Imam (ulama) berpendapat bahwa seorang yang
mukim boleh menjama’ shalatnya apabila diperlukan asalkan tidak dijadikan
sebagai kebiasaan.” (lihat Syarah Muslim, imam Nawawi 5/219 dan Al Wajiz
fi Fiqhis Sunnah wal Kitabil Aziz 141).
Dari Ibnu
Abbas Radhiallahu Anhuma berkata, bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi
Wassalam menjama’ antara Dhuhur dengan Ashar dan antara Maghrib dengan Isya’ di
Madinah tanpa sebab takut dan safar (dalam riwayat lain; tanpa sebab takut dan
hujan). Ketika ditanya hal itu kepada Ibnu Abbas beliau menjawab : ”Bahwa
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam tidak ingin memberatkan
umatnya.” (HR.Muslim dll. Lihat Sahihul Jami’ 1070).
Shalat Jama' Dapat Dilaksanakan dengan 2
(dua) Cara :
1. Jama' Taqdim (Jama' yang
didahulukan) yaitu menjama' 2 (dua) shalat dan melaksanakannya pada waktu
shalat yang pertama. Misalnya shalat Dzuhur dan Ashar dilaksanakan
pada waktu Dzuhur atau shalat Maghrib dan Isya’ dilaksanakan
pada waktu Maghrib.
Syarat Sah Jama' Taqdim :
a. Berniat
menjama' shalat kedua pada shalat pertama
b. Mendahulukan
shalat pertama, baru disusul shalat kedua
c. Berurutan,
artinya tidak diselingi dengan perbuatan atau perkataan lain, kecuali duduk,
iqomat atau sesuatu keperluan yang sangat penting
d. Niat jama' yang dibarengkan dengan Takbiratul Ihram shalat yang pertama, misalnya Dhuhur.
2. Jama' Ta’khir (Jamak yang
diakhirkan), yaitu menjamak 2 (dua) shalat dan melaksanakannya pada waktu
shalat yang kedua. Misalnya, shalat Dzuhur dan Ashar dilaksanakan
pada waktu Ashar atau shalat Maghrib dan
shalat Isya’ dilaksanakan pada waktu shalat Isya’.
Syarat Sah Jama' Ta’khir :
a. Niat
(melafazhkan pada shalat pertama) yaitu : ”Aku ta’khirkan shalat Dzuhurku
diwaktu Ashar.”
b. Berurutan,
artinya tidak diselingi dengan perbuatan atau perkataan lain, kecuali duduk,
iqomat atau sesuatu keperluan yang sangat penting.
Catatan :
Dalam Jama'
ta’khir tidak disyaratkan mendahulukan shalat pertama atau shalat kedua.
Misalnya shalat Dzuhur dan Ashar boleh mendahulukan Ashar baru Dzuhur atau
sebaliknya. Muadz bin Jabal menerangkan bahwasanya Nabi
SAW dipeperangan Tabuk, apabila telah tergelincir matahari sebelum
beliau berangkat, beliau kumpulkan antara Dzuhur dan Ashar dan apabila beliau
ta’khirkan shalat Ashar. Dalam shalat Maghrib begitu juga, jika terbenam
matahari sebelum berangkat, Nabi SAW mengumpulkan Maghrib dengan Isya’ jika
beliau berangkat sebelum terbenam matahari beliau ta’khirkan Maghrib sehingga beliau
singgah (berhenti) untuk Isya’ kemudian beliau menjama'kan antara keduanya.
HUKUM MENJAMA’ SHOLAT JUM’AT DENGAN ASHAR
Tidak
diperbolehkan menjama’ antara shalat Jum’at dengan shalat Ashar dengan alasan
apapun baik musafir, orang sakit, turun hujan atau ada keperluan lain. Walaupun
dia adalah orang yang diperbolehkan menjama’ antara Dhuhur dengan Ashar.
Hal ini
disebabkan tidak adanya dalil tentang menjama’ antara Jum’at dan Ashar, dan
yang ada adalah menjama’ antara Dhuhur dan Ashar dan antara Maghrib dan Isya’.
Jum’at tidak bisa diqiyaskan dengan Dhuhur karena sangat banyak perbedaan
antara keduanya. Ibadah harus dengan dasar dan dalil, apabila ada yang
mengatakan boleh maka silahkan dia menyebutkan dasar dan dalilnya dan dia tidak
akan mendapatkannya karena tidak ada satu dalilpun dalam hal ini.
Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda : “Barangsiapa membuat perkara baru
dalam urusan kami ini (dalam agama) yang bukan dari padanya (tidak berdasar)
maka tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam riwayat
lain : “Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintah kami
(tidak ada ajarannya) maka amalannya tertolak.” (HR.Muslim).
Jadi kembali
pada hukum asal, yaitu wajib mendirikan shalat pada waktunya masing-masing
kecuali apabila ada dalil yang membolehkan untuk menjama’ dengan shalat
lain.(Lihat Majmu’ Fatawa Syaihk Utsaimin 15/369-378).
HUKUM MUSAFIR SHALAT DIBELAKANG MUKIM
Shalat
berjama’ah adalah wajib bagi orang mukim ataupun musafir, apabila seorang
musafir shalat dibelakang imam yang mukim maka dia mengikuti shalat imam
tersebut yaitu 4 raka’at, namun apabila ia shalat bersama-sama musafir maka
shalatnya di qashar (dua raka’at). Hal ini didasarkan atas riwayat yang shahih
dari Ibnu Abbas Radhiallahu Anhuma. Berkata Musa bin Salamah : Suatu ketika kami
di Makkah (musafir) bersama Ibnu Abbas, lalu aku bertanya :”Kami melakukan
shalat 4 raka’at apabila bersama kamu (penduduk Makkah), dan apabila kami
kembali ke tempat kami (bersama-sama musafir) maka kami shalat dua raka’at?”
Ibnu Abbas Radhiallahu Anhuma menjawab: “Itu adalah sunnahnya Abul Qasim
(Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam).” (Riwayat Imam Ahmad dengan sanad shahih.
Lihat Irwa’ul Ghalil no 571 dan Tamamul Minnah, Syaikh AL ALbani 317).
HUKUM MUSAFIR MENJADI IMAM MUKIM
Apabila
musafir dijadikan sebagai imam orang-orang mukim dan dia meng-qashar shalatnya
maka hendaklah orang-orang yang mukim meneruskan shalat mereka sampai selesai
(4 raka’at), namun agar tidak terjadi kebingungan hendaklah imam yang
musafir memberi tahu makmumnya bahwa dia shalat qashar dan hendaklah mereka
(makmum yang mukim) meneruskan shalat mereka sendiri-sendiri dan tidak
mengikuti salam setelah dia (imam) salam dari dua raka’at. Hal ini pernah
dilakukan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam ketika berada di Makkah (musafir)
dan menjadi imam penduduk Makkah, beliau Shalallahu ‘Alaihi Wassalam
berkata : “Sempurnakanlah shalatmu (4 raka’at) wahai penduduk Makkah!
Karena kami adalah musafir.” (HR. Abu Dawud). Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi
Wassalam shalat dua-dua (qashar) dan mereka meneruskan sampai empat raka’at
setelah beliau salam. (lihat Al Majmu Syarah Muhadzdzab 4/178 dan Majmu’
Fatawa Syaikh Utsaimin 15/269).
Apabila imam yang musafir tersebut khawatir membingungkan makmumnya dan
dia shalat 4 raka’at (tidak meng-qashar) maka tidaklah mengapa karena hukum
qashar adalah sunnah mu’akkadah dan bukan wajib. (lihat Taudhihul Ahkam,
Syaikh Abdullah bin Abdir Rahman Al Bassam 2/294-295).
HUKUM SHALAT JUM’AT BAGI MUSAFIR
Kebanyakan
ulama berpendapat bahwa tidak ada shalat jum’at bagi musafir, namun apabila
musafir tersebut tinggal disuatu daerah yang diadakan shalat Jum’at maka wajib
atasnya untuk mengikuti shalat Jum’at bersama mereka. Ini adalah pendapat imam
Malik, imam Syafi’i, Ats Tsauriy, Ishaq, Abu Tsaur, dll. (lihat AL Mughni,
Ibnu Qudamah 3/216, Al Majmu’ Syar Muhadzdzab, Imam Nawawi 4/247-248, lihat
pula Majmu’ Fatawa Syaikh Utsaimin 15/370).
Dalilnya
adalah bahwasanya Nabi Muhammad SAW apabila safar (bepergian) tidak shalat
jum’at dalam safarnya, juga ketika haji wada’, beliau SAW tidak melaksanakan
shalat Jum’at dan menggantinya dengan shalat Dhuhur yang dijama’ dengan
Ashar. (lihat Hajjatun Nabi SAW Kama Rawaaha Anhu Jabir, karya Syaikh Muhammad
Nasiruddin Al Albani hal 73). Demikian pula para Khulafaur Rasyidin (4
khalifah) Radhiallahu Anhum dan para sahabat lainnya serta
orang-orang yang setelah mereka, apabila safar tidak shalat Jum’at dan
menggantinya dengan Dhuhur. (lihat Al Mughni, Ibnu Qudamah 3/216).
Dari Al
Hasan Al Basri, dari Abdur Rahman bin Samurah berkata : “Aku tinggal bersama dia
(Al Hasan Al Basri) di Kabul selama dua tahun meng-qashar shalat dan tidak
shalat Jum’at.”
Sahabat Anas Radhiallahu Anhu tinggal di Naisabur selama satu atau dua tahun, beliau tidak
melaksanakan shalat Jum’at.
Ibnul
Mundzir Rahimahullahu menyebutkan bahwa ini adalah Ijma’ (kesepakatan para
ulama) yang berdasar hadist shahih dalam hal ini sehingga tidak diperbolehkan
menyelisihinya. (lihat Al Mughni, Ibnu Qudamah 3/216).
II. PENGERTIAN SHOLAT QASHAR
Shalat yang
diringkas, yaitu shalat fardhu yang 4 (empat) rakat (Dzuhur, Ashar dan Isya’)
dijadikan 2 (dua) rakaat, masing-masing dilaksanakan tetap pada waktunya.
Sebagaimana menjamak shalat, meng-qashar shalat hukumnya sunnah. Dan ini
merupakan rushah (keringanan) dari Allah SWT bagi
orang-orang yang memenuhi persyaratan tertentu.
Syarat Meng-qashar :
1. Bepergian yang bukan untuk tujuan maksiat
2. Jauh perjalanan minimal 88,5 km
3. Shalat yang di-qashar adalah ada' (bukan qadla') yang empat rakaat.
4. Tidak boleh bermakmum pada orang yang shalat sempurna (tidak di-qashar).
Perhatikan
Hadist Nabi SAW :
”Rasulullah
SAW tidak bepergian, melainkan mengerjakan shalat dua raka’at
saja sehingga beliau kembali dari perjalanannya dan bahwasanya beliau telah
bermukim di Mekkah di masa Fathul Mekkah selama delapan belas malam, beliau
mengerjakan shalat dengan para Jama’ah dua raka’at kecuali shalat
Maghrib. Kemudian bersabda Rasulullah SAW : ”Wahai penduduk Mekkah, bershalatlah
kamu sekalian dua raka’at lagi, kami adalah orang-orang yang dalam
perjalanan.” (HR. Abu Daud).
Sedangkan Cara Melaksanakan Shalat Qashar :
1. Niat
shalat qashar ketika takbiratul ihram.
2. Mengerjakan
shalat yang empat rakaat dilaksanakan dua rakaat kemudian
salam.
Firman Allah
SWT :
”Bila kamu
mengadakan perjalanan dimuka bumi, tidaklah kamu berdosa jika kamu memendekkan
shalat...” (QS. An-Nisa: 101).
Nabi SAW
bersabda :
”Dari Ibnu
Abbas R.A. ia berkata : ”Shalat itu difardhu-kan atau diwajibkan atas lidah
Nabimu didalam hadlar (mukim) empat rakaat, didalam safar
(perjalanan) dua rakaat dan didalam khauf (keadaan
takut/perang) satu rakaat.” (HR. Muslim).
JARAK DIPERBOLEHKAN MENG-QASHAR SHOLAT
Qashar hanya
boleh dilakukan oleh Musafir baik safar dekat atau safar jauh, karena tidak
ada dalil yang membatasi jarak tertentu dalam hal ini, jadi seseorang yang
bepergian boleh melakukan qashar apabila bepergiannya bisa disebut safar
menurut pengertian umumnya. sebagian ulama memberikan batasan dengan safar yang
lebih dari 80 km agar tidak terjadi kebingungan dan tidak rancu, namun pendapat
ini tidak berdasarkan dalil shahih yang jelas. (lihat Al Muhalla, Ibnu
Hazm 21/5, Zaadul Ma’ad, Ibnul Qayyim 1/481, Fiqhua Sunnah, Sayyid Sabiq
1/307-308, As Shalah, Prof. Dr. Abdullah Ath Thayyar 160-161, Al Wajiz, Abdul
Adhim Al Khalafi 138).
Apabila
terjadi kerancuan dan kebingungan dalam menentukan jarak atau batasan
diperbolehkannya meng-qashar shalat maka tidak mengapa kita mengikuti pendapat
yang menentukan jarak dan batasan tersebut-yaitu sekitar 80 atau 90 Km, karena
pendapat ini juga merupakan pendapat para Imam dan Ulama yang layak
ber-ijtihad. (lihat Majmu’ Fatawa Syaikh Utsaimin 15/265).
Seorang
musafir diperbolehkan meng-qashar shalatnya apabila telah meninggalkan kampung
halamannya sampai dia pulang kembali ke rumahnya. (Al Wajiz, Abdul ‘Adhim
Al Khalafi 138).
Berkata Ibnu
Mundzir : “Aku tidak mengetahui (satu
dalil-pun) bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam meng-qashar dalam
safarnya melainkan setelah keluar (meninggalkan) kota Madinah.”
Berkata Anas
Radhiallahu ‘Anhu : “Aku shalat
bersama Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam di kota Madinah 4 raka’at
dan di Dzul Hulaifah (luar kota Madinah) dua raka’at.” (HR. Bukhari, Muslim
dll).
III. SYARAT DAN KETENTUAN SHOLAT JAMAK QOSHOR
Salah satu rukhsah/keringanan
yang Allah berikan kepada umat muslim adalah adanya kebolehan
mengqashar (meringkas) shalat yang terdiri dari empat rakaat menjadi dua
rakaat serta menjamak shalat dalam dua waktu dikerjkan dalam satu
waktu.
Beberapa Ketentuan Sholat Qashar :
1.
Kebolehan qashar shalat hanya berlaku bagi musafir/orang dalam
perjalanan yang jarak perjalanan yang ditempuh dipastikan mencapai 2
marhalah; 16 parsakh atau 48 mil.
Dalam
menentukan berapa kadar 2 marhalah terjadi perbedaan pendapat yang
tajam dikalangan para ulama. Sebagian kalangan berkesimpulan bahwa 2
marhalah adalah 138,24 km (ini berdasarkan analisa atas pendapat bahwa 1
mil 6.000 zira` san satu zira` 48 cm)
Pendapat lain berkesimpulan bahwa 2
marhalah adalah 86,4 km, pendapat ini berdasarkan kepada pendapat yang
dikuatkan oleh Ibnu Abdil Bar bahwa kadar 1 mil adalah 3.500 zira`. 1
Zira` 48 cm. Selain itu ada juga beberapa pandangan yang lain.
Shafar/perjalanan yang dibolehkan qashar shalat adalah
- Safar/perjalanan yang hukumnya mubah, sedangkan safar dengan tujuan untuk berbuat maksiat (ma`shiah bis safr)
misalnya perjalanan dengan tujuan merampok, berjudi dll) tidak
dibolehkan untuk mengqashar shalat. Baru dikatakan safar maksiat (ma`shiah bis safr)
bila tujuan dari perjalanannya memang untuk berbuat maksiat, sedangkan
bila tujuan dasar perjalanannya adalah hal yang mubah namun dalam
perjalanan ia melakukan maksiat (ma`shiat fis safr) maka safar
yang demikian tidak dinamakan safar maksiat sehingga tetap berlaku
baginya rukhsah qashar shalat dan rukhsah yag lain selama dalam
perjalanan tersebut.
- Perjalanannya tersebut harus
mempunyai tujuan yang jelas, sehingga seorang yang berjalan tanpa arah
tujuan yang jelas tidak dibolehkan qashar shalat.
- Perjalanan tersebut memiliki maksud yang saheh dalam agama seperti berniaga dll.
2. Telah melewati batasan daerahnya.
Sedangkan apabila ia belum keluar dari kampungnya sendiri maka tidak
dibolehkan baginya untuk jamak.
3. Mengetahui boleh qashar
Seseorang yang melaksanakan qashar shalat sedangkan ia tidak mengetahui hal tersebut boleh maka shalatnya tidak sah.
Ketiga ketentuan diatas juga berlaku pada jamak shalat dalam safar/perjalanan.
4. Shalat yang boleh diqashar hanya
shalat 4 rakaat yang wajib pada asalnya. Adapun shalat sunat atau shalat
yang wajib dengan sebab nazar tidak boleh diqashar. Sedangkan shalat
luput boleh diqashar bila shalat tersebut tertinggal dalam
safar/perjalanan yang membolehkan qashar, sedangkan shalat yang luput
sebelum safar bila diqadha dalam masa safar maka tidak boleh diqashar.
Demikian juga sebaliknya shalat yang luput dalam masa safar bila diqadha
dalam masa telah habis safar maka tidak boleh diqashar.[1]
5. Wajib berniat qashar ketika takbiratul ihram. Contoh lafadh niatnya adalah:
اصلى فرض الظهر مقصورة
“saya shalat fardhu dhuhur yang diqasharkan”
Bila ia berniat qashar setelah takbiratul iharam maka tidak dibolehkan untuk qashar shalat.
6. Tidak mengikuti orang yang
mengerjakan shalat secara sempurna (4 rakaat) walaupun hanya sebentar.
Bila ia sempat mengikuti imam yang mengerjkan shalat secara sempurna
maka shalatnya mesti dilakukan secara sempurna pula (4 rakaat).
7. Tidak terjadi hal-hal yang
bertentangan dengan niatnya mengqashar shalat, misalnya timbul niat
dalam hatinya untuk mengerjkan shalat secara sempurna( 4 rakaat) atau
timbul keragu-raguan dalam hatinya setelah ia berniat qashar apakah
sebaiknya ia mengerjakan shalat secara sempurna atau ia qashar saja.
Bila timbul hal demikian maka shalatnya wajib disempurnakan (4 rakaat).
Demikian juga wajib mengerjakan shalat secara sempurna bila timbul
karagu-raguan dalam hatinya tentang niatnya apakah qashar ataupun
shalat sempurna, walaupun dalam waktu cepat ia segera teringat bahwa
niatnya adalah qashar.
8. Selama dalam shalat ia harus masih berstatus sebagai musafir.
Apabila dalam shalatnya hilang
statusnya sebagai musafir misalnya karena kendaraan yang ia tumpangi
telah sampai ke daerah tujuannya, atau ia berniat bermukim didaerah
tersebut maka shalatnya tersebut wajib disempurnakan.
Shalat Jamak
Ada dua macam shalat jamak, jamak
taqdim dan jamak ta`khir. Jamak taqdim adalah mengerjakan kedua shalat
dalam waktu pertama, misalnya shalat ashar dikerjakan dalam waktu
dhuhur, atau shalat isya dikerjakan dalam waktu maghrib. Sedangkan Jamak
ta`khir adalah sebaliknya yaitu mengerjakan kedua shalat yang dijamak
dalam waktu kedua, misalnya shalat dhuhur dikerjakan bersamaan dengan
Ashar dalam waktu Ashar dan shalat maghrib dikerjakan bersamaan dengan
Isya dalam waktu Isya.
Dari beberapa syarat dan ketentuan
shalat jamak ada ketentuan umum yang berlaku bagi jamak taqdim dan
takhir dan ada pula beberapa ketentuan khusus bagi jamak taqdim saja
atau bagi jamak takhir saja.
Ketentuan dan syarat-syarat yang berlaku umum baik kepada jamak takhir dan kepada jamak taqdim adalah:
- Jamak bagi musafir dibolehkan
apabila jarak perjalanannya mencapai dua marhalah dengan ketentuan
sebagaimana pada pembahasan masalah qashar shalat (ketentuan no. 1, no. 2
dan no. 3 pada qashar juga berlaku pada jamak)
- Shalat yang boleh dijamak adalah
shalat dhuhur dengan ashar dan shalat maghrib dengan Isya, kedua shalat
tersebut juga boleh diqashar beserta jamak.
Adapun Beberapa Ketentuan Khusus Bagi Jamak Taqdim :
- Niat jamak pada shalat
pertama.Dalam shalat jamak taqdim, misalnya mengerjakan shalat dhuhur
bersama ashar, ketika dalam shalat dhuhur wajib meniatkan bahwa shalat
ashar dijamak dengan shalat dhuhur. Niat ini tidak diwajibkan harus
dalam takbiratul ihram, tetapi boleh kapan saja selama masih dalam
shalat bahkan boleh bersamaan dengan salam shalat dhuhur tersebut.
- Tertib, dalam mengerjakan shalat
jamak taqdim harus terlebih dahulu dikerjakan shalat yang awal,
misalnya dalam jamak dhuhur dengan Ashar harus terlebih dahulu
dikerjakan dhuhur.
- Masih berstatus sebagai musafir hingga memulai shalat yang kedua
- Meyakini sah shalat yang pertama.
- Beriringan, antara kedua shalat
tersebut harus dikerjakan secara beriringan. Kadar yang menjadi pemisah
antara dua shalat tersebut adalah minimal kadar dua rakaat shalat yang
ringan. Bila setelah shalat pertama diselangi waktu yang lebih dari
kadar dua rakaat shalat ringan maka tidak dibolehkan lagi untuk menjamak
shalat tersebut tetapi shalat kedua harus dikerjakan pada waktunya yang
asli.
Bila ingin melaksakan shalat sunat
rawatib maka terlebih dahulu shalat sunat qabliah dhuhur (misalnya
menjamak maghrib dengan Isya) selanjutnya shalat fardhu Maghrib dan Isya
kemudian shalat sunat ba`diyah Maghrib kemudian Qabliah Isya dan
Ba`diyah Isya.
Ketentuan Khusus pada Jamak Ta'khir :
- Niat jamak takhir dalam waktu
shalat yang pertama. Dalam jamak takhir ketika kita amsih berada dalam
waktu shalat pertama kita harus mengkasadkan bahwa shalat waktu tersebut
akan kita jamak ke waktu selanjutnya. Batasan waktu shalat pertama yang
dibolehkan untuk diqasadkan jamak adalah selama masih ada waktu kadar
satu rakaat shalat.
- Masih berstatus sebagai musafir hingga akhir shalat yang kedua.
Pada jamak takhir tidak disyaratkan
harus tertib (boleh mengerjakan shalat dhuhur dulu atau ashar dulu pada
masalah menjamak dhuhur dalam waktu ashar) serta tidak wajib
beriringan/wila`, sehingga setelah mengerjakan shalat pertama boleh saja
diselangi beberapa waktu kemudian baru shalat yang kedua.
Referensi :
Fathul Mu`in dan Hasyiah I`anatuth Thalibin jilid 2 hal 98-104 Cet. Tohaputra
Tanwir Qulub hal 172-175 cet. Hidayah
Sayyid Bakry Syatha, Hasyiah I`anatuth Thalibin, jilid 2 hal 99 Cet. Toha putra
SAMPAI KAPAN MUSAFIR BOLEH MENJAMAK QASHAR SHALAT
Para ulama berbeda pendapat tentang
batasan waktu sampai kapan seseorang dikatakan sebagai musafir dan
diperbolehkan meng-qashar (meringkas) shalat. Jumhur (sebagian besar)
ulama yang termasuk didalamnya imam empat : Hanafi, Maliki, Syafi’i dan
Hambali Rahimahumullah berpendapat bahwa ada batasan waktu tertentu.
Al-Malikiyah & Al-Syafiiyah (3 Hari)
Dalil yang digunakan ialah apa yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab shahih-nya bahwa Nabi saw
menjadikan bagi para Muhajirin 3 hari untuk rukhshoh setelah mereka
menunaikan hajinya.
لِلْمُهَاجِرِ إِقَامَةُ ثَلَاثٍ بَعْدَ الصَّدَرِ بِمَكَّةَ
"Untuk para muhajirin itu bermukim 3 hari di Mekkah setelah Shodr (menunaikan manasik)" (HR Muslim)
Imam Syafi'i dalam kitabnya Al-Umm (1/215) menjelaskan maksud hadits ini, beliau katakan:
"mukimnya Muhajir di
Mekkah itu 3 hari batasnya (sebagai musafir), maka jika melebihi itu, ia
telah bermukim di Mekkah (jadi mukim yang tidak bisa dapat rukhshoh)"
Imam Ibnu Hajar
Al-Asqolani dalam fathul-Baari (7/267) mengatakan bahwa istinbath hukum
dari hadits Nabi tersebut adalah bahwa seorang musafir jika berniat
singgah/tinggal di kota tujuan kurang dari 3 hari, ia masih berstatus
sebagai musafir yang boleh jama' dan qashar sholat. Akan tetapi jika
melebihi itu, tidak lagi disebut sebagai musafir.